Keberagaman dalam Keberagamaan
Aku selalu mengurungkan niat setiap kali muncul gagasan di
kepalaku untuk menulis hal-hal yang berkaitan dengan agama. Entah karena
agama merupakan pokok bahasan yang sangat peka, atau karena aku enggan
terlibat dalam perdebatan tak berujung, aku sendiri tak tahu.
Tapi kali ini, aku memberanikan diri. Tunggu dulu; ini bukan tentang Irshad Manji, Lady Gaga, apalagi FPI.
Ini tentang segala pernik agama yang kupahami.
Kakekku, Oteng Jasmin — yang kemudian mengganti namanya dengan
Hasmeng Suwardhani, beragama Katolik. Suatu hari–aku lupa tahun
berapa–ia, seorang kapten, terpikat pada kecantikan seorang janda
beranak satu yang sibuk di dapur umum. Ya, demikian Eyang Putri
menceritakannya padaku, awal perjumpaan mereka di tengah berkecamuknya
peperangan. Kalau tidak salah, settingnya adalah Agresi Militer Belanda
II.
Singkat cerita, mereka menikah. Eyang Kakung tetap memeluk agama
Katolik, Eyang Putri tetap memeluk agama Islam. Mereka dikaruniai
sembilan anak yang semuanya dibaptis secara Katolik.
Uniknya, kesembilan anak ini pun belajar mengaji. Seorang guru
mengaji didatangkan setiap sore untuk mengajar agama Islam bagi
anak-anak mereka.
Aku sempat bertanya kepada Eyang Putri, Hajjah Siti Masitoch, “Lho, kok lucu, sih, Yang? Jadi semuanya agamanya dobel?”
“Lha waktu itu kan semuanya masih kecil. Masih belum ngerti. Kalau
dipaksa ikut agamanya Eyang Kakung atau Eyang Putri ya ndak adil, tho.
Karena kami tahunya cuma dua agama itu, ya dua-duanya diajarin. Besok
kalau udah gede, mereka bisa milih sendiri, lebih sreg yang mana.”
“Agama kok pake sreg-sregan, tho, Yang?” tanyaku lagi.
“Lha piye tho kowe le… Agama itu kan semua ngajarin kebaikan.
Memuliakan Tuhan, mengasihi sesama. Itu. Tok. Nah, caranya aja yang
beda-beda. Koyo pas kowe menyang Nyogja. Bisa naik kereta, bisa naik
mobil, bisa naik bus. Kowe seneng sing endi?”
“Enak naik kereta, Yang….”
“Eyang lebih suka naik bus.”
Begitulah. Jadi, Mamaku, meski sudah dibaptis dengan nama “Lucia”,
dan ke Gereja setiap hari Minggu, tetap belajar mengaji setiap sore,
sampai sudah khatam Al-Quran. Sepengetahuanku, tidak satu pun dari
anak-anak Eyang yang menentang; masalah terkadang malas belajar agama
itu, sih, untuk anak-anak sudah lazim, kan, ya?
Sampai pada suatu waktu, Mamaku mengisi formulir pendaftaran untuk
masuk SMP. Saat itulah ia pertama kali harus memilih untuk mengisi kolom
“Agama”. Kalau mau dikilas balik, aku yakin Mamaku mengalami dilema
besar saat itu. Bukan karena harus memilih salah satu dari dua agama
yang dipelajarinya, melainkan karena harus “mengkhianati” salah satu
dari kedua orang tuanya.
Mamaku memilih Katolik. Lima dari sembilan anak-anak Eyang memilih Katolik. Empat memilih Islam.
Eyang Kakung dan Eyang Putri tak pernah mempermasalahkan hal itu.
Lalu, adakah perpecahan dalam keluarga kami? Tidak.
Idul Fitri dan Natal, Idul Adha dan Paskah, selalu kami rayakan
bersama-sama. Aku masih ingat sekali; Eyang Putri, Bude, Pakde, Om,
Tante, dan para sepupu yang muslim sudah sibuk sejak pagi mempersiapkan
diri untuk Sholat Ied. Tante dan Om yang Katolik akan mengantar
mereka–kadang menunggu sampai selesai, kadang hanya mengantar dan
kemudian menjemput lagi. Kami, yang di rumah Eyang, kerja
bakti–membersihkan rumah, karena nanti pasti akan ada banyak tamu,
menyiapkan penganan untuk suguhan, dan–favoritku–menyajikan masakan
Eyang di meja makan.
Tak beda jauh bila Natal tiba. Eyang akan menyibukkan diri memasak
menu-menu kesukaan cucu-cucunya. Sepupu-sepupuku yang berbeda agama pun
akan membantu menghias Pohon Natal, membungkus kado-kado Natal yang kami
beli bersama-sama.
Pada suatu bulan Ramadhan, aku dan beberapa sepupu berjalan-jalan
menyusuri Malioboro. Novi, sepupuku yang muslim, mengingatkan aku dan
Mas Iwan–kami berdua Katolik–untuk makan siang. Tadinya aku dan Mas Iwan
berpikir untuk nanti saja makannya. Nggak enak sama yang lagi puasa.
“Ealah, Mas. Yang puasa aku kok yang repot kalian. Wis, tho… Nggak
bakal batal puasaku cuma karena lihat kalian makan. Puasaku malah bakal
batal kalau aku nangis gara-gara kalian pingsan kelaperan.”
Kami beragam. Kami pun tetap beragama. Keberagaman kami, tak sedikit pun mengganggu keberagamaan kami.
Toh, aku harus maklum, bahwa apa yang di luar sana, tidak seperti apa
yang terjadi di dalam keluargaku. Aku hanya bisa bersyukur, bahwa kali
ini, rumput tetangga tidak lebih hijau.
-----------
yaaa..aku menyukai yang satu ini..
aku tak mengenal siapa pemilik web ini, orang yang menulis tiap kata itu..
secara tak sengaja, aku menemukannya..
membaca posting demi posting, dan menemukan posting yang satu ini.
link posting di atas? klik saja di sini , aku menyalinnya dari sana..
atau cukup klik judul posting yang aku salin di atas. "keberagaman dalam keberagamaan" :)anda akan menemukan banyak yang menarik lainnya, di sana.. YAKIN!
***


2 komentar:
Terima kasih, kamu sudah menyukai tulisanku. :)
hehee, sama2.. semuanya menyenangkan dan menarik. Great! :))
Posting Komentar