*hening sejenak* *tatapan nanar* *njut mimbik-mimbik* "lalu melanjutkan perkataannya* (imajinasi berlebih -_-")
"aku pun sama, tidak bisa kalau sendirian. harus ada orang lain, yang mungkin lebih dari sahabat, konteksnya lawan jenis, paling tidak dalam hal perhatian. untuk sekedar tanya kabar, tanya apa sudah makan, sudah ini, sudah itu, lagi ngapain, dsb."
"bahkan aku tidak bisa membayangkan, atau memang sepertinya tidak bisa kalau harus 'sendirian' dalam waktu yang lama. tidak bisa ada jeda. semacam butuh 'dekengan' :)" lanjutnya kemudian.
AKU TERDIAM. KALI INI PIKIRANKU MELAYANG.
Percakapan itu terjadi kemarin malam dengan seorang sahabat.
Dari dulu aku memang mengenalnya sebagai sosok yang seperti itu, hanya pernyataannya itu malah membawaku pada pikiran lain.
Tersadar. Kenapa aku tidak seperti itu?
Entah belum seperti itu, atau memang tidak seperti itu. Aku tak tau.
Dia kembali bercerita, dan alam bawah sadarku membawaku kembali pada ingatan tentang masa kecilku..
Sejak kecil, aku memang terbiasa sendiri.
Ibuku yang aku panggil mama adalah seorang guru, sedangkan ayahku yang aku panggil papa adalah wiraswasta. Bersama papa mama, aku memiliki kakak perempuan yang terpaut jauh jauh jauh jauuuh sekali usianya dariku. Jadi, pada waktu aku SD, kakakku sudah kuliah di Jogja. Otomatis, aku hanya sendirian di rumah bersama papa dan mama. Setiap pulang sekolah, aku pasti tidak akan pernah mendapati mama atau papa berada di rumah. Dulu, aku punya pengasuh namanya mbak Marsi. Aku ingat dia, bahkan sampai sekarang terkadang dia masih sering menghubungiku lewat sms hanya sekadar bertanya kabarku atau memintaku main ke rumahnya, entah dapat nomorku dari mana, curiga aku sepertinya papa yang memberikannya pada mbak Marsi. -_-
Tapi keadaan berubah ketika mbak Marsi menikah. Dia kemudian tidak lagi bekerja di tempatku. Aku sendirian. Jadilah, mama menitipkan aku pada saudaraku yang rumahnya hanya terpaut 2 rumah dariku. Kalau sekarang aku sih mikir, kenapa dulu gak dititipin rumah ibu saja ya? Jaraknya gak ada 200meter dari rumah padahal. Oke, lagi-lagi "entahlah". Setiap pulang sekolah, mbah Mangun [sudah meninggal :'(] selalu setia dengan becaknya mengantarku pulang. Aku langsung menuju rumah saudaraku itu. Mama sudah menyiapkan makanan lengkap dengan buah sebagai hidangan penutup, benar-benar 4 sehat 5 sempurna di piring kesukaanku bergambar beruang. Piring itu masih ada sampai sekarang, lengkap dengan mangkuk sup kecilnya :'). Mama juga menyiapkan baju ganti, dan meninggalkan kunci rumah. Sepertinya berjaga-jaga kalau aku ingin pulang. Tapi tetap saja, aku anak kecil kelas 2 SD yang masih takut. Jadi, aku tetap memilih menunggu mama pulang di rumah saudaraku itu sambil bermain dengan anak laki-lakinya yang masih berusia 1 tahun (kalau tidak salah). Sebenarnya aku bisa bermain ke rumah ibu, tapi tak ada pikiran kala itu. Biasanya, aku main ke rumah ibu ketika mama sudah pulang, barulah aku ke sana dan bermain boneka atau pasar-pasaran dengan mbak Ayu dan de Dian.
Kelas 3 SD, mama mengikutkan aku pada sebuah sanggar. Namanya studio rentra. Di sana, aku les menyanyi, dance, dan peragawati. Selain itu, mama juga mengikutkanku pada les tari tradisional. Aku masih ingat betul bagaimana aku sangat menyukai tari piring, dan dengan luwesnya menggunakan KEDUA TANGANku untuk menari, bahkan bisa diangkat ke atas. yaa.. DUA TANGANku :').
Entah darimana ide itu hingga mama menitipkan aku di sana, yang jelas sebenarnya aku tak suka. Setiap latihan dance, aku selalu minder karena tubuhku yang kurus kecil dan pendek sementara teman-temanku yang lain tinggi, kostum menariku saja kedodoran. Setiap latihan menyanyi, aku selalu tidak mau menggunakan mic karena takut. Aku merasa suaraku tidak bagus, jadi aku tidak mau mengganggu orang lain kalau harus menggunakan mic. Jadi setiap menyanyi, aku pasti menjauhkan mic dari tanganku. Dan setiap latihan melenggak lenggok di atas catwalk, aku tidak percaya diri. Hal itu ditambah dengan piala yang aku dapat jauh lebih kecil dari piala temanku ketika mengikuti lomba. Baru kemudian aku merasa lebih baik ketika mengetahui bahwa mereka membayar sejumlah uang untuk piala besar nan tinggi itu, sementara mama tidak pernah melakukannya. Hingga, aku harus berbangga pada diriku kala itu. Juga bangga pada mamaku. Beliau lah yang selalu memiliki ide-ide untuk setiap pakaian di kala aku show. Ya, aku ingat di Hotel Ambarukmo dengan baju berwarna kuning kala itu begitu centilnya aku bergaya di depan seorang Tino Karno (kala itu ngetop n ngehits sekali Si Doel Anak Sekolahan), dan aku menjadi juara. Ada empat piala yang diperebutkan, piala dari Rano Karno, Tino Karno, Cornelia Agatha, Maudy Koesnaedi. Dari ratusan peserta, aku menjadi salah satu dari keempat juara itu. Aku mendapatkan piala dari Cornelia Agatha. Dan teman-temanku yang sering mengeluarkan uang hanya untuk mendapatkan piala yang sangat tinggi, mereka menangis karena belum menang. Perlombaan kali itu memang bersih.
Aku ikut lomba di kota yang satu ke kota yang lainnya, dari hotel satu ke hotel yang lain. Bahkan aku pernah dipanggil untuk casting film. Aku tetap saja tidak menyukainya, aku rasa itu bukan bidangku. Namun, lewat setiap prestasi itu, aku perlu bersyukur karena mama jadi tidak pernah masuk rumah sakit lagi. Biasanya, sejak aku kelas 1 SD mama selalu rutin masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya. Dulu, karena aku masih kecil aku selalu saja merasa senang karena artinya aku bisa bolos sekolah, aku bisa bobo di rumah sakit ada AC nya, kulkas ada buahnya, dan tiap pulang aku bisa bertemu papa mama, bukan sekedar dititipkan di rumah orang lain.
Cukup cukup.. bukan itu yang hendak ku sampaikan. Kalau aku cerita, sepertinya tidak akan cukup karena masih banyak sekali yang terjadi di dalamnya.
Pada intinya, ketika menjadi seorang 'peragawati' pun, aku tetap menjadi anak biasa. Aku bisa melenggak lenggok di atas catwalk, tapi paginya aku anak sekolahan, siangnya aku anggun yang selalu sendiri dan dititipkan. Kelas 5 SD, mama mengikutkan aku les piano. Padahal aku juga tidak suka. Aku
lebih suka drum dan biola, aku bahkan lebih tertarik pada gitar daripada
piano. Aku tak bisa memilih apa yang aku suka. Ya tentang menjadi
peragawati, ya tentang les piano, dan masih banyak lainnya. Baiklah, anggun kecil menurut saja waktu itu. Kalau tidak salah kelas 3 SD kakakku lulus kuliah, selang beberapa waktu ia merantau ke Jakarta sehingga aku benar-benar sendiri dan merasa seperti anak tunggal. Sebut aku kesepian dan kurang perhatian. Tapi tak apa, justru lewat semua itu aku jadi terbiasa.
AKU TERBIASA UNTUK SENDIRIAN.
Masa sekolah dasar sudah terlewati, beralih ke masa putih biru. Aku tetap selalu saja sendirian ketika pulang sekolah. Bedanya, waktu itu aku tak lagi dititipkan. Aku juga sudah berhenti total dari tetek bengek "peragawati", jadi semakin terlihat saja jati diri yang sebenarnya. Tomboy. Tapi, tak apa. Aku merasa lebih nyaman seperti itu. Di masa putih biru itulah, aku bercita-cita ingin kuliah di Ilmu Komunikasi. Aku ingin sekali menjadi reporter atau wartawan. Setiap menulis cerpen, tokoh yang aku ceritakan selalu saja akan berhubungan dengan wartawan dan dokter. Impian standart tiap anak kecil, jadi dokter. Simple, biar bisa bantu orang lain. Aku memang suka berinteraksi dan bersosialisasi. SMP, mama memberikan aku kunci rumah, kadang menaruhnya di tempat tersembunyi, atau kadang dititipkan. Masa putih abu-abu pun juga begitu. Mendapati rumah kosong itu adalah hal yang biasa. Tidak hanya siang, malam pun juga seperti itu. Entah mama papa ada acara gereja, entah latihan klonengan, pergi kemana, atau apapun itu, aku sering sekali sendirian di rumah. Tiap sahabatku main ke rumah, mereka pasti bertanya "kok sepi". Ya, memang begitu.
Oke, benar-benar cukup. Ini sudah out of topics. -__-
***
Karena sudah terbiasa sendiri itulah aku mungkin menjadi sosok yang seperti ini.
Aku sering merasa tidak membutuhkan sosok lain selain orang-orang terdekatku, ya keluarga, ya sahabat. Aku bahkan merasa tidak lagi membutuhkan perhatian, terkhusus dari lawan jenis. Maksudku, mereka bukan menjadi yang terutama dan harus ada.
Mungkin itulah sebabnya, aku selalu menganggap mereka semua sama. Ya hanya sebagai teman dan kakak, tak lebih.. Aku sih hanya butuh teman, tidak butuh perhatian "yang lebih". Aku tidak butuh laki-laki, bahkan selalu berpikir bisa hidup tanpa mereka.
Nyatanya, 1,5 tahun yang lalu aku adalah anggun yang tidak peduli pada apapun, juga pada handphone. hahaha XD
yaa, aku bahkan seringkali lupa handphone berada dimana, atau sering tidak membalas pesan, telepon dari semua orang yang tidak jelas dan terlalu banyak basa-basi, siapa pun itu. Aku tidak butuh sosok laki-laki, aku cuma mau fokus sama keluarga. Toh waktu itu ada sahabat yang pernah menjadi kekasihku, dia teman terbaik lah.. tapi sepertinya aku bukan temannya yang baik, ah *sigh.
hingga aku bertemu dia yang sekarang bersamaku. kalau sekarang, tiap jam tiap menit tiap detik isinya mantengin handphone muluk -_-. SIAL MEMANG , zzzzz...
Dulu juga, cinta pertamaku. Butuh 6 tahun melupakannya, di sela-sela itu juga aku tak pernah memasrahkan hatiku pada yang lain. Laki-laki yang datang silih berganti itu hanya aku anggap teman dekat, tak lebih. Toh, tidak ada mereka pun tak masalah. Aku tetap menjalani hidupku dengan baik, tawaku memenuhi dunia. Aku punya keluarga dan sahabat, aku rasa itu sangat lebih dari cukup. Sampai aku bisa jatuh cinta lagi setelah 6 tahun pada pria yang adalah kakak kelasku SMA, tapi baru jatuh cinta saat kami berada di bangku kuliah. Orang ini yang aku sebut sahabat yang pernah menjadi kekasihku. Hubungan kami juga berawal dari persahabatan, jadi aku harap berakhir tetap menjadi sahabat. I wish.. :')
Dan setelah putus dengannya pun, aku tak terlalu membutuhkan laki-laki. Tidak harus langsung ada orang lain yang menggantikan posisinya, karena segalanya tidak mudah mamen. Ini soal rasa. Semua hal butuh proses. Dulu aku pikir berat, tapi ternyata dibuat mudah olehNya. Aku bisa menjalani semuanya sendirian, aku berusaha sendirian. Hampir 1 tahun lebih aku berproses hingga rasa itu berubah menjadi rasa sayang sebagai sahabat, sebagai kakak. Kalian pasti tau bagaimana rasa sayang sama kekasih, sama keluarga, sahabat, yaa memiliki porsi dan tempat masing-masing. Rasa-rasanya aku jadi tidak butuh laki-laki, malas juga mengenal mereka (lagi) (dari nol). Tapi aku tetap normal. Yakin.
Oke, lingkungan yang membentukku menjadi seperti ini.
Aku dan sahabatku yang terlibat perbincangan malam itu sama-sama Scorpio, beda Shio dan beda golongan darah. Halah. Beberapa hal yang terdapat dalam diri kami banyak kesamaan, tapi ternyata banyak pula perbedaan. Termasuk tentang hal yang satu ini.
Dan setelah putus dengannya pun, aku tak terlalu membutuhkan laki-laki. Tidak harus langsung ada orang lain yang menggantikan posisinya, karena segalanya tidak mudah mamen. Ini soal rasa. Semua hal butuh proses. Dulu aku pikir berat, tapi ternyata dibuat mudah olehNya. Aku bisa menjalani semuanya sendirian, aku berusaha sendirian. Hampir 1 tahun lebih aku berproses hingga rasa itu berubah menjadi rasa sayang sebagai sahabat, sebagai kakak. Kalian pasti tau bagaimana rasa sayang sama kekasih, sama keluarga, sahabat, yaa memiliki porsi dan tempat masing-masing. Rasa-rasanya aku jadi tidak butuh laki-laki, malas juga mengenal mereka (lagi) (dari nol). Tapi aku tetap normal. Yakin.
Oke, lingkungan yang membentukku menjadi seperti ini.
Aku dan sahabatku yang terlibat perbincangan malam itu sama-sama Scorpio, beda Shio dan beda golongan darah. Halah. Beberapa hal yang terdapat dalam diri kami banyak kesamaan, tapi ternyata banyak pula perbedaan. Termasuk tentang hal yang satu ini.
DAN JENG JENGGG...
Inilah kenapa tadi di awal aku bilang
"Entah belum seperti itu, atau memang tidak seperti itu."
Karena saat ini, akuu kecanduan laki-laki, ya dia! Hooh bener si "TA" x)
Etapiii sepertinya enggak deh, BUKAN BELUM, namun AKU MEMANG TIDAK SEPERTI ITU.
Kenapa cobak?
Kenapa cobak?
Karena, hubungan kami memaksaku menjalani semuanya sendiri. Di sini.
Makan sendiri. Mandi sendiri. Tidur sendiri. Main sendiri. Masak sendiri. Cuci baju sendiri. #eh kok malah jadi laguuu.. -__-
Makan sendiri. Mandi sendiri. Tidur sendiri. Main sendiri. Masak sendiri. Cuci baju sendiri. #eh kok malah jadi laguuu.. -__-
Jadi, aku bisa dong ya sendirian. :)
Lewat hubungan ini, aku semakin belajar untuk mandiri.
Aku jadi lebih tangguh! *nggaya*
Aku jadi lebih tangguh! *nggaya*
Aku belajar dan memilih untuk semakin menjadi dewasa.
Tiap kesalahanku, aku belajar introspeksi diri. Tiap kesalahannya, aku jadi belajar untuk menggali lebih pada diriku apakah kesalahannya itu akibat kesalahanku.
aaah, banyak hal pokoknya.. :)
Kesepian? Wajar. Kangen? Wajar.
Butuh perhatian lebih? Mungkin sebenarnya lubuk hati bilang iya.
Tapi aku sudah terbiasa tidak mendapatkannya, dan terbiasa sendirian bukan?
Jadi, tinggal lebih membiasakan lagi.
Toh, perhatiannya sudah cukup sesuai porsi kok.
Tidak baik selalu merasa kurang.
Semua sudah PAS. :)
Butuh perhatian lebih? Mungkin sebenarnya lubuk hati bilang iya.
Tapi aku sudah terbiasa tidak mendapatkannya, dan terbiasa sendirian bukan?
Jadi, tinggal lebih membiasakan lagi.
Toh, perhatiannya sudah cukup sesuai porsi kok.
Tidak baik selalu merasa kurang.
Semua sudah PAS. :)
Aku harus tetap bersyukur.
Aku percaya segalanya baik untukku. :')
Manusia memang diciptakan berpasang-pasangan.
Manusia juga membutuhkan orang lain.
Manusia juga membutuhkan orang lain.
Tapi terkadang, sendiri itu menyenangkan. :))))))))
---
sepertinya kalau dilanjutkan akan makin ngelantur.
SEKIAN DAN TERIMA BELAIAN *jablay dong mbak* -_-, zzzzzzzzz
---
sepertinya kalau dilanjutkan akan makin ngelantur.
SEKIAN DAN TERIMA BELAIAN *jablay dong mbak* -_-, zzzzzzzzz
0 komentar:
Posting Komentar