Kamis, 25 Oktober 2012

kost putri asem bagus

Diposting oleh anggun via grasma di 10/25/2012 12:16:00 PM
terletak di daerah kledokan, tepatnya di belakang hotel sahid babarsari yogyakarta dan kampus Atmajaya gedung Thomas Aquinas. Beralamat di CT 19 D 79, Kledokan, Babarsari, Yogyakarta.
sudah lama sekali ingin menuliskannya dalam rumah dunia maya ini, yaa tempat tinggal selama di jogja dengan berbagai kenangan. tempat tinggal dalam satu kamar berukuran kurang lebih 3x4,5 dengan kamar mandi di dalamnya. kost yang menyediakan berbagai tipe kamar dengan berbagai pilihan harga dan fasilitas yang ditawarkan, dan saya memilih kamar atas. saat itu hanya ada kamar kosong di atas dan di bawah, simple aja saya pilih di atas karena bisa melihat langit, bisa ngerasain udara secara langsung nampar kamar saya.

3 tahun saya menjalani hari-hari saya bersama asem bagus di jogja. kost yang satu itu memang terkesan individualisme, mungkin karena dari 100 kamar yang ada semuanya memiliki kamar mandi mereka sendiri-sendiri. dalam berteman pun, tidak dengan semua saya bisa melakukannya. cuma ada mba rina, dan mb acong yang dekat. terkesan nge "geng" memang, tiap kami bertiga ribut selalu saja jadi pembicaraan oleh geng lain. ya, di antara mereka bertiga saya yang paling junior. dan selain geng-geng itu, semua penghuninya tetap menjadi penghuni yang individual. saya melihat, rata-rata semua penghuninya lebih suka memilih tinggal diam di kamar, entah belajar, menonton televisi, atau memasak. termasuk saya, saya malas sekali kalau harus keluar yang ujung-ujungnya cuma rumpi atau ngomongin orang, berasa penting aja tuh orang sampek diomongin. saya lebih memilih di kamar, dan selalu welcome dengan teman-teman lain baik dari kost maupun kampus yang maen ke kost atau sekedar numpang istirahat, atau belajar kelompok karena kost saya yang dekat.

yah, singkatnya saya jatuh cinta dengan asem bagus. sekalipun penjaganya kadang iseng, dan suka ngomongin di belakang, dan akan baik jika bingkisan datang, tapi semua tetap selalu membuat saya merasa rindu. suasananya, bukan sepi tapi tenang, apalagi kalau sore, cuma duduk depan kamar, liat senja. aah, cless adem tenang nyaman. namun lagi, saya ini tipe orang yang tidak terlalu suka urusan saya dicampuri, apalagi privasi saya, kecuali apabila saya membaginya dengan siapa pun itu. dan saya pernah kecewa karena tanpa ijin saya, kost saya digunakan oleh orang lain. kenapa saya bisa tau? eng ing eng..

suatu ketika sekitar bulan juli 2010, saya melaksanakan kuliah kerja lapangan atau yang gampangnya disebut magang di salah satu tabloid terkemuka di Jakarta selama satu bulan. otomatis kost saya tidak berpenghuni, dan saya menitipkan kost saya pada pacar saya kala itu (sekarang sudah ex), kalau-kalau ada apa-apa dengan kost saya. otomatis, tanggung jawab sama kost sudah saya kasih ke dia lewat sebuah kunci yang saya titipkan. nah, pernah suatu hari saya lupa karena apa kalau gak saya minta tolong dia buat ambilin sesuatu, saya minta tolong dia buat liatin ke kamar saya, nah pas dibuka itulah dia bilang dia mendapati tas ransel laki-laki beserta dompet dan beberapa jajanan di dalam kamar saya. NAH, TAS SIAPAKAH ITU???
sampek pacar saya bingung dan ngira salah kamar. jadi itu kejadiannya si pacar itu live report ke saya, kita telponan waktu dia ke kost saya, dari nada bicaranya asli keliatan bingung sampek tanya "ini kamarmu kan? no. 10 kan?". YA IYALAH ITU KAMAR SAYAAAA...

Nah, misteri orang yang masuk ke kamar saya itu masih saya simpan sampek sekarang. Saya sih tau siapa orangnya, tapi saya gak pernah bahas. Saya mah cinta damai, toh daripada ada masalah lagi. Cuman yang jadi pertanyaannya, dapet kunci nya darimana ya? dari penjaga kost atau .........
Ya, sejak saat itu saya kasih tambahan gembok buat kamar saya! ahahaaa.. jahat ya? biarin. itu privasi saya, mau keluarga, saudara, sahabat, teman, pacar, siapapun kalau masuk harus ijin dong. gak susah kan bilang dulu gitu ke saya? ;)

Coba aja ada di posisi saya, kira-kira anda bagaimana?

0 komentar:

Posting Komentar

 

after the rain Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos